Jumat, 02 Januari 2009

PERJALANAN

Ketika saya datang ke “rumah” Ki Ageng Besari di Jetis Ponorogo, awal kali yang saya jumpai adalah Regol, adalah pintu gerbang, atau di dalam arsitektur bali yang pernah saya kunjungi dapat disamakan dengan gapura. Regol berguna sebagai pintu masuk utama ke komplek rumah Ki Ageng Besari, dimana ditempat ini tamu dapat berhenti sebentar, dan disambut oleh abdi dalem (petugas). Selain itu regol berguna juga bagi pengguna jalan sebagai tempat berteduh dari hujan dan panas serta menghilangkan dahaga dengan minum air putih yang ditempatkan di dalam ‘kendi’ yang disediakan pemilik rumah. Bentuk atapnya khas, saya tidak bisa menyebut tipe apa? joglo atau limasan. Dan bila saya amati maka atap ini adalah merupakan elemen sektor ‘gajah’ dan tanpa penanggap. Atap langsung didukung oleh tiang kayu (soko) dan berdiri diatas umpak (pengerasan). Kehadiran dinding yang tebal tidak mendukung atap tersebut, dinding hanyalah sebuah alat untuk pembatas, pempertegas arah, sebagai bingkai untuk masuk kedalam ‘rumah’ Ki Ageng Besari.

Kesimetrisan bentuk regol sangat kuat, lebih-lebih dipertegas dengan hadirnya dinding tebal yang mengapit rongga untuk masuk ke dalam ‘rumah’, tidak memberi kesan yang formal, justru memberikan kesan akrap, mengundang untuk segera masuk ke dalamnya. Tamu bisa berlindung dari panasnya matahari dan derasnya hujan, sekaligus bersoleh sebelum menghadap pemilik rumah.

Pandangan saya langsung terpusat ke titik yang lebih jauh, maka peran regol berubah menjadi figora/frame bagi sosok bangunan yang jauh berada di dalam sana. Walaupun masih tertutup oleh hijaunya dedaunan, namun sosok bangunan yang ada didalamnya menarik saya untuk segera memasukinya. Saya melangkah mendekat, makna regol sebagai bingkai semakin tegas.Setelah saya berada di dalam regol, bentuk rumah joglo nampak, namun masih tertutup dan terbingkai oleh hijaunya daun-daun. Kehadiran bangunan di sebelah kiri, memang agak mengganggu, namun bila bangunan tersebut saya abaikan, maka kesimetrisan akan lebih nampak. Kemudian saya bergagas untuk melangkah maju menuju ke dalam komplek ‘rumah’.Betuk joglonya semakin nampak jelas, menarik saya untuk segera melangkah maju. Dari sisi ini kehadiran bangunan di sebelah kiri sangat menganggu saya, namun fokus saya tetap ke arah bangunan di dalamnya. Setelah saya melangkah maju, lepaslah pengaruh bangunan disamping kiri. Bentuk joglo semakin menggoda saya, keelokan bentuknya menyatu dengan alam sekitarnya. Warna genteng , pepohonan, pagar dan tanah menyatu menjadi satu dalam wadah alam. Saya terus berjalan maju, saya ingin mencari posisi yang tepat untuk mengabadikan bentuk joglo yang jantan ini.Dari sisi ini, bentukan joglo semakin nampak jelas. Namun saya merasa adanya kekosongan, ketuaan, sepi, merana, keadaannya telah termakan oleh ’kemajuan’ sudut pandang indivualis, yang segalanya hanya diukur oleh kenikmatan materialistis semata. Rumah ini sudah tidak berarti lagi, hanyalah barang antik yang dapat ’dimanfaatkan’ sebagai obyek wisata. Namun nyatanya tidak ada, dia hanyalah obyek yang diam.Dari posisi ini, bentuk joglo penuh dapat saya nikmati, kemegahan dan keagungannya memberikan ciri yang khas untuk joglo ini. Bentukkan atap joglo, membentuk ruang yang dapat digunakan untuk bernaung dari panasnya matahari dan hujan. Dengan tanpa hadirnya dinding yang mengelilingi, maka angin dengan bebasnya bertiup, sehingga menciptakan rasa nyaman, terlindungi, dan ’ayom’.Kemudian saya maju, dari posisi ini saya dapat melihat puncak atap joglo dan sekaligus dapat melihat ruang di dalam, ruang pendopo. Jajaran soko (kolom) tegak berdiri menyangga atap. Saya merasa akan terlingkupi dan terlindungi bila masuk ke dalamnya. Keinginan saya untuk segera maju dan berlindung di dalamnya semakin kuat.Kemudian saya masuk ke dalam emper, lantainya naik satu trap. Jajaran soko ibarat batang pohon dihutan jati, demikian juga dengan rapatnya usuk dan reng seperti ranting pohon. Posisi saya di emper masih terasa lepas dari bagian pendopo, saya ingin terus maju selangkah.Saya naik satu trap, maka saya masuk diwilayah pananggap yang merupakan bagian dari pendopo, dari posisi ini saya rasakan megahnya ke empat soko guru yang mendukung tumpang sari. Tanpa hadirnya pewarna, ukiran yang menyolok, bangunan ini terkesan megah, wibawa, bijaksana dan penuh dengan kesederhanaan. Suasananya sangat sejuk, karena bagian kanan kiri dari pendopo, tanpa dinding, sehingga dengan bebasnya angin bisa bertiup.Setelah saya masuk ke dalam sektor guru, pandangan saya terarah ke dalam, nampak pintu tepat di tengah, menarik saya untuk segera mendatangi. Namun sebelumnya saya melihat adanya bagian pringgitan, yang ternyata disebelah kiri dan kanannya telah digunakan sebagai kamar (gandri). Sehingga angin dari arah kanan kiri sudah tidak dapat berhembus lagi, ada sedikit saya rasakan kesan ’singup’.Saya semakin mendekati ke pintu, ada tiga pintu yang masing-masing berhadapan dengan tiga sentong di ndalem. Namun saya tertarik ke arah pintu yang tengah, karena posisi saya. Pringgitan kelihatan terang, hal ini disebabkan karena cahaya kamera saya, namun sebenarnya suasana ’singup’ semakin kuat, seakan-akan ada orang lain yang mengamati saya. Namun saya telah terlena oleh ke elokan rumah ini.Saya telah berhadapan dengan pintu tengah, tingginya tidak terlalu tinggi, suasana di dalam ruang ndalem nampak gelap. Gelapnya ruang di dalam menambah ’singup’nya suasana, namun penasaran saya terhadap rumah ini mengalahkan segalanya. Dari gelapnya ndalem, menandakan bahwa jarang digunakan untuk kegiatan pada siang hari.Setelah saya masuk ke Ndalem, sumber penerangan berasal dari celah-celah genteng, suasananya semakin ’singup’. Sentong tengah adalah bagian yang mengakhiri perjalan saya yang dimulai dari regol depan, di ruang ini disimpan segala hal yang sangat berharga bagi Ki Ageng Besari. Sentong tengah di apit oleh sentong tengan dan sentong kiwo, Sentong tengah lebih lebar dibandingkan dengan kedua sentong yang lainnya.Untuk masuk ke wilayah yang lebih dalam lagi maka saya harus naik satu trap lagi di sektor penanggap ndalem, saya terus maju dan posisi saya terletak di sektor guru dari joglo di ndalem. Saya membayangkan ketika Ki Ageng Besari duduk di sentong tengah ini, sederhana dan wibawa. Dari tempat ini Ke Ageng memberi pituah, ceritera pada anak-anaknya sebelum tidur. Posisi sentong tengah terletak paling ujung, paling tinggi, merupakan akhir dari proses perjalanan lurus, sehingga sentong tengah ini merupakan daerah yang paling sakral.

BERBALIK
Setelah itu saya berbalik berjalan keluar dari pintu, maka saya melihat suasana ruang pendopo yang sangat luas, yang dapat digunakan untuk berkumpul banyak orang. Saya membayangkan bila diri saya adalah Ki Ageng Besari, Saya merasa diagungkan, termulyakan oleh luas dan suasananya ruang. Berjajarnya soko (kolom-kolom), ibarat pasukan yang mengarahkan saya untuk berjalan lurus dan menyanjung diri saya. Keagungan seseorang dapat tercipta dengan mengkondisikan suasana ruangnya.Setelah saya mendekat ke sektor guru, rasa keagungan saya terasa berkurang, saya merasa bagian dari ruang itu, saya manunggal dengan orang lain yang berada di dalam pendopo, yang membedakan hanyalah arah hadapnya. Sebuah proses gradasi ruang yang cukup menarik, di pendopo semua orang adalah sama, karena pusat keagungannya adalah di tengah ruang di sektor guru, keagungan manusia tidak sebanding dibandingkan dengan keagungan ruang yang diciptakannya.Kemudian saya maju disektor pananggap, maka pandangan saya lurus ke depan tertutupi oleh rendahnya atap emper. Baru setelah saya turun disektor emper, maka saya dapat melihat seluruh bagian regol. Keagungan saya berkuruang, saya adalah bagian dari alam yang menyambut saya di luar sana. Kedudukan saya sejajar dengan alam dan manusia yang lainnya.

Sebuah perjalanan yang menarik, yang sulit saya dapatkan dalam era ’arsitektur barat’, ternyata kekayaan arsitektur nusantarapun hadir penuh dengan makna dan herarkhi yang bisa mempengaruhi penggunanya. Itulah tujuan arsitektur ’pengguna’.